Kalender Arab (pra-Islam)
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Namun kalender yang dipergunakan adalah kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati semenanjung Arab dari utara ke selatan). Bulan pertama dinamai Muharram, karena di bulan ini seluruh suku di semenanjung Arab bersepakat mengharamkan peperangan. Pada bulan kedua, sekitar bulan Oktober, daun-daun mulai menguning. Karenanya, bulan ini diberi nama Shafar yang berarti kuning. Di bulan ketiga dan keempat, bertepatan dengan musim gugur (rabi). Keduanya diberi nama bulan Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir.
Januari dan Februari adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, matahari kembali melintasi semenanjung Arab. Kali ini matahari bergerak dari selatan ke utara. Salju di Arab mulai mencair. Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b) untuk menanam atau menggembala ternak. Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan bulan Ramadhan (dari kata ramdhan yang berarti sangat panas).
Cuaca makin panas di bulan berikutnya, hingga disebut dengan bulan Syawwal (peningkatan). Puncak musim panas terjadi di bulan Juli. Di waktu-waktu ini masyarakat Arab lebih senang duduk-duduk (qa’id), tinggal di rumah daripada bepergian. Bulan ini diberi nama Dzulqa’dah. Di bulan keduabelas, masyarakat Arab berbondong-bondong pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sehingga bulan ini disebut dengan bulan haji atau Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas yang ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut dengan bulan Nasi’.
Kalender Hijriah
Kalender bulan-matahari yang berlaku di semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan Nasi’ menurut perhitungan mereka.
Setelah turun wahyu kepada Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah sewaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram….” [At Taubah36]
Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak berubah karena sudah terlanjur populer di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan, ramadhan tak lagi selalu jatuh di musim panas. Setiap tahun akan terus bergeser. Di kalender masehi, kita merasakan perayaan idul fitri akan lebih cepat 11 hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski merepotkan (tanggalnya selalu berganti-ganti), namun hal ini menguntungkan bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah dengan empat musim. Pergeseran waktu di kalender Masehi membuat Ramadhan bisa terjadi di musim dingin, musim gugur, musim semi maupun musim panas.
Ketika Rasulullah saw masih hidup, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun yang lalu?
Enam tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, Gubernur Irak, Abu Musa al Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar Bin Khatthab. Sebagian surat itu berisi saran agar kalender Hijriah diberi angka tahun. Usul ini pun disetujui. Umar segera membentuk panitia yang beranggotakan Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Panitia kecil ini bermusyawarah untuk menentukan kapankah dimulainya tahun pertama. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi saw (‘Am al Fil, 571 M), seperti kalender Masehi yang merujuk pada kelahiran Isa. Ada pula yang mengusulkan tahun turunnya firman Allah yang pertama (‘Am al Bi’tsah, 610 M). Pada akhirnya, yang disetujui adalah pendapat Ali yang menggunakan tahun hijrah dari Makkah ke Madinah (‘Am al Hijrah, 622 M). Alasannya:
- Dalam Al Qur’aan, Allah memberi banyak penghargaan pada orang-orang yang berhijrah.
- Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terbentuk setelah hijrah ke Madinah.
- Ummat Islam diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, tidak terpaku pada satu keadaan dan senantiasa ingin berhijrah menuju keadaan yang lebih baik.
Karena tahun pertama dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah, kalender ini kemudian populer disebut kalender hijriah.
Meski tidak mendetail, aturan tentang kalender hijriah telah tercantum dalam al Qur’aan dan hadits. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman dalam pembuatan kalender hijriah.
- Satu tahun hijriah terdiri dari 12 bulan. Dalilnya adalah QS At Taubah ayat 36, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan…”
- Pergantian bulan terjadi saat terlihatnya hilal.Dari sekian banyak hadits shahih yang ada, saya ambil salah satu hadits dari kitab shahih Bukhary, “Berpuasalah kamu setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihat hilal. Maka bila pandanganmu terhalang (oleh mendung atau hujan), sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”
- Satu bulan terdiri dari 29 hari. Namun bisa juga menjadi 30 hari jika hilal masih belum tampak. Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
- Pergantian hari terjadi pada waktu maghrib (setelah matahari terbenam).
Sekitar 300 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, negara – negara islam telah memiliki kebudayaan dan pengetahuan tinggi. Banyak sekali ilmuwan muslim bermunculan dengan karyanya yang gemilang tertumpuk di perpustakaan negara Islam.
Pada tahun 773 M, seorang pengembara India menyerahkan sebuah buku data astronomi berjudul “Sindhind” atau “Sindhanta” kepada kerajaan islam di Baghdad. Oleh Khalifah Abu Ja’far al – Mansur ( 719 – 775 M ), diperintahkan agar buku itu di terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Perintah ini di laksanakan oleh Muhamad ibn Ibrahim al – Fazari ( W. 796 M ). Atas usahanya inilah al – Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak yang pertama di dunia islam.
Setelah al – Fazari, pada abad ke 8 muncul Abu Ja’far Muhamad bin Musa al – Khawarizmi, lahir di khawarizm ( Kheva ), kota di selatan sungai Okus ( kini Uzbekistan ) pada tahun 770 M. sebagai ketua observatorium al – Ma’mun. Dengan mempelajari karya al – Fazari ( terjemaham Sindhind ). Al – Khawarizmi berhasil mengolah sistim penomoran India menjadi dasar operasional ilmu hitung. Dengan penemuan angka 0 ( nol ) India, maka terciptalah sistim pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam pengembangan ilmu pasti. Dia juga telah berhasil menyusun tabel trigonometri atau Daftar logaritma seperti yang ada sekarang ini.
Selain Al Khawarizmi, ilmuwan muslim yang cukup terkenal memajukan Ilmu Falak diantaranya Abdurrahman Ibnu Abu Al- Hussin Al Sufi (Ibnu Sufi), Abu Yousouf Yaqub Ibnu Ishaq al-Kindi (Al Kindi), Abu Abdallah Mohammad Ibnu Jabir Ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani (Al-Battani), Abu Abdallah Mohammad Ibnu As-Syarif Al-Idrisi (Al-Idrisi), Mohammad Taragay ibnu Shah Rukh (Ulugh Beg) dsb.
Sekalipun ilmu falak dalam peradaban islam sudah cukup maju, namun yang patut di catat adalah pandangan terhadap alam masih mengikuti pandangan ptolomeus, yakni geosentris.
0 komentar:
Posting Komentar