My-Dock Sejarah - K. Nur Shodiq yang orang kebanyakan menye butnya adalah Umar Sadik adalah putra K. Ketib Anom Pacitan putra Sunan Tembayat Klaten Jawa Tengah. Beliau datang ke Ponorogo pertama kali babad di daerah Majasem Kec. Siman, kemudian diambil menjadi menantu P. Ratmaja cucu dari P. Sumende yang juga putra dari Sunan Tembayat Klaten Jawa Tengah. Dengan de mikian berarti K. Nur Shodiq adalah buyut menantu dari P. Sumen de dari Desa Setono Kecamatan Jetis Ponorogo.
Setelah Majasem sudah menjadi sebuah perkampungan dan banyak penduduk dari ber bagai daerah ikut mukim disini, beliau mene ruskan pengembaraannya membuka hutan lagi untuk dijadikan sebuah perkampungan di daerah Kecamatan Jenangan yaitu Desa Tanjungsari. Perkampungan baru ini dinamakan Tanjungsari konon ceritanya ketika K. Nur Shodiq membuka hutan ini menerjang sebuah belik (sumber mata air) yang banyak tumbuh pepohonan Tanjung dan Nagasari di sekitar belik itu, kemudian dae rah ini dinamakan Tanjungsari oleh K. Nur Sho diq dan sekaligus di tempat ini juga beliau mendi rikan sebuah Masjid. Tidak lama kemudian, sete lah Tanjungsari sudah menjadi perkampungan dan sudah berdiri Pondok Pesantren, datang seo rang yang memiliki ilmu kejawen Pakem yang bernama Anengdarmo juga ikut babad di sebelah timur babadan K. Nur Shodiq, dan kebetulan daerah yang dibabad oleh Anengdarmo ini ter dapat belik (beji) juga, yang mana beji ini dina makan Beji Pakem disesuaikan dengan nama ilmu kejawen yang dianut oleh Ki Anengdarmo, dan beji Pakem ini ada dua, yang satu untuk tem pat pemandian kaum laki-laki dan yang satunya lagi sebagai tempat pemandian kaum perempuan, kemudian dua beji ini dinamakan Beji Lanang (laki-laki.Ind) dan Beji Wadon (perempuan.Ind).
Pada suatu hari K. Nur Shodiq, mendapat masalah dengan Ki Anengdarmo, dimana ketika beliau akan ada hajatan, beliau memetik buah kelapa dengan di tepuk pohonnya saja dan kela pa sudah berjatuhan. Ketika itu Ki Anengdarmo sedang lewat di jalan yang melintasi bawah po hon kelapa yang dipetik buahnya oleh K. Nur Shodiq dan ada buah kelapa yang jatuh hampir mengenai kepala Anengdarmo. Dengan demikian Ki Anengdarmo merasa diajak adu kesaktian, kemudian beliau mengheningkan cipta sebentar ketika itu pula pohon kelapa yang dipetik buah nya oleh K. Nur Shodiq itu pelan-pelan meleng kung turun kebawah dan buahnya diambil satu persatu oleh Ki Anengdarmo, lalu dia kata kan ”Demikianlah Kyai cara memetik buah kelapa yang benar, kalau di tepuk seperti itu buah yang masih muda kan ikut rontok ?!”. Kemudian Anengdarmo mempersilahkan K. Nur Shodiq untuk memetik buah kelapa yang mana yang beliau kehendaki, setelah itu pohon kelapa kembali beranjak naik dan berdiri tegak lagi seperti sedia kala.
Setelah pagi hari ada kejadian seperti itu, malam harinya K. Nur Shodiq masih memikirkan apa yang terjadi pagi tadi. Karena merasa, bahwa beliau kalah sakti dengan Anengdarmo, beliau malam itu juga berpamitan kepada istri dan anak-anaknya untuk mengembara lagi dan mencari tempat lain untuk di babad dan dijadikan sebuah perkampungan baru lagi. Keberangkatan beliau diikuti oleh beberapa santrinya saja, istri dan anak tidak boleh ikut serta, hanya saja pesan beliau jika nanti sudah mendapatkan tempat baru yang lebih baik, beliau akan kembali lagi untuk membawa anak dan istri ketempat yang baru itu. Keberangkatan beliau dari Tanjungsari menuju arah barat, terus mengikuti jejak dan langkah kakinya diikuti oleh santri yang sangat setia kepada beliau.
Pengembaraan K. Nur Shodiq dan pengi kutnya sampailah di sebuah tempat dimana be liau memulai lagi membabad hutan, dan dalam waktu yang tidak lama juga banyak orang yang datang ketempat yang baru ini, sehingga tempat ini menjadi semakin ramai. Disini beliau men dirikan Mushalla dan Pondak Pesantren, yang kemudian tambah hari tambah pula santri yang datang mondok di tempat ini. Karena K.Nur Shodiq masih belum merasa tentram mukim di sini, maka beliau pindah dan mengembara lagi mencari tempat yang sekira dapat menentramkan hatinya. Kemudian Pondok Pesantren yang diting galkan oleh beliau ini dijadikan sebuah nama per kampungan dengan sebutan Desa Pondok. Kebe rangkatannya dari Pondok beliau menuju arah tenggara dengan menuruni tebing sungai dan naik tebing lagi dan melihat-lihat dimana kira-kira tempat yang cocok untuk dibabad dan dija dikan pemukiman yang bisa menentramkan hati jika dihuni. Akhirnya sampailah pada suatu tem pat yang sesuai dengan yang diharapkannya, di sini dimulai lagi babad hutan dan di ikuti oleh santri yang mengikutinya. Di tempat inilah akhir nya K. Nur Shodiq menjalani hidupnya sampai usia tua, dan mendakwahkan Islam dengan mem bangun masjid dan juga pesantren lagi sebagai mana di tempat-tempat babadan beliau sebelum nya. Kehidupan beliau sudah tenang bersama para santri dan penduduk di wilayah babadan yang baru ini, karena sudah mendapatkan keten traman dan ketenangan kemudian beliau memin dahkan anak dan istri dari Tanjungsari ke tempat yang baru ini yaitu Babadan.
0 komentar:
Posting Komentar