My-Dock Sejarah - KH. Ibrahim adalah putra pertama dari istri pertamanya KH. Ghozali bin K. Nawawi (Maja sem) bin K. Khotib Anom (Srigading-Kalambret-Tulung Agung) bin K. Anom Besari (Kuncen-Caruban-Madiun) bin P. Satmata Al-Alim atau K. ‘Arobi (Surabaya).
Beliau dilahirkan di Desa Cokromenggalan sebelah barat kota Ponorogo + 2 Km (kota lama) atau sekarang sebelah timur kota Ponorogo + 2,5 Km, pada tahun 1812 dari pasangan KH. Ghozali dengan Ny. Majasem.
Ketika masih usia kanak-kanak KH. Ibrahim, selalu belajar dengan tekun kepada ayahandanya sendiri, tentang membaca dan menulis huruf Arab, karena pada saat itu belum ada pendidikan formal seperti zaman sekarang. Dan yang ter utama adalah belajar Al-Qur’an karena KH. Gho zali ayah Ibrahim adalah seorang yang ‘alim dan hafidl Al–Qur’an dan memiliki pesantren sendiri di Ds. Cokromenggalan. Setelah menginjak usia remaja Ibrahim di pondokkan di Pesantren Tegal sari, Jetis, Ponorogo arah selatan dari desanya + 8 Km, yang mana kala itu diasuh oleh K. Ageng Raden Hasan Besari. Diantara santrinya yang saat itu adalah Raden Ngabai Ronggowarsito, seorang pujangga keraton Solo yang sangat ter kenal sampai zaman sekarang ini. Konon sepu lang dari Tegalsari Ibrahim agak memadai ilmu nya, sehingga oleh bapaknya di tugaskan mem bantu mengajar di pesantrennya sendiri di Cokro- menggalan. Setelah usianya semakain dewasa, oleh ayahnya di jodohkan dengan santri putri di pesantrennya yang bernama Ny. Sudjinah. Santri putri ini sangat rajin, tawadlu’ dan manut dalam berkhidmah kepada kyainya. Oleh karenanya, K. Ghozali langsung mengambilnya sebagai menan tu, dan sekitar tahun 1840 M. Ibrahim menunai kan rukun Islam ke 5 yaitu ibadah haji berangkat ke tanah suci Makah al-Mukaramah tanpa diikuti istrinya.
Saat perjalanan ke tanah suci ibadah haji ke Makah beliau menggunakan kapal layar melalui pelabuhan Tanjung Perak Ujung Surabaya dan memang hanya itulah satu–satunya alat transpor tasi yang ada saat itu yang di tongkangi orang-orang Madura. Pemberangkatannya di waktu itu tepat setahun sebelum masuk bulan Dzulhijjah.
Setelah tiba di Makah beliau di samping me laksanakan ibadah haji juga memperdalam Tafsir Al-Qur’an dan Hadits juga Ilmu-ilmu Fiqih ber madzhab Syafi’i. Bahkan juga memperdalam ha falan Al-Qur’an yang merupakan cita-cita langka di tanah Jawa ketika itu. Karena memang di Jawa saat itu belum ada guru yang membimbing hafa lan Al-Qur’an. Orang-orang yang sezaman de ngan Ibrahim, orang Indonesia yang belajar di Makah ketika itu adalah Syaikh Ahmad Khotib (Minangkabau), Ustadz Basuni Imran (Brunai Darussalam), Syaikh Muhammad Nawawi Ban tani (Banten), Syaikh Mahfudl (Termas-Pacitan Jawa Timur), KH. Syamsul Arifin (Situbondo) ayah K. As’ad. Mereka itu sama menjadi tokoh dan Ulama’ tersohor di Indonesia.
Ibrahim belajar di Makah selama 8 tahun, beliau selama belajar disana disamping menda lami ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu tulis menulis huruf Arab yang indah, khoth dan kali grafi. Karena Ibrahim ketika nyantri di Pondok Tegalsari termasuk santri yang rajin tulis menu lis. Banyak sekali kitab-kitab peninggalannya yang sampai sekarang ini masih ada. Walaupun tulisannya belum bisa dibilang bagus, tetapi rapi dan mudah dibaca. Dan setelah belajar Khoth dan kaligrafi di Makah tulisan Ibrahim sangat ba gus kalau tidak bisa di katakan luar biasa. Semua itu bisa dilihat di dalam rak musium kitab pening galan al-marhum KH. Ibrahim di lingkungan mas jid Bedi,Polorejo, Babadan Ponorogo.
Pada tahun 1765 Polorejo resmi menjadi kota Ka bupaten, dengan bupatinya yang pertama ialah putra Surodiningrat I bupati Ponorogo yaitu Raden Tumenggung Brotonegoro. Pusat pemerin tahan kabupaten terletak di Dukuh Dalem Ds. Polorejo, sekarang Jl. Srigading. Sekitar tahun 1824 M ada utusan seorang senopati keraton Solo mengadakan kunjungan ke Katemenggu ngan Polorejo, karena memang saat itu kabupa ten Polorejo di bawah kekuasaan keraton Solo. Ketika selama kunjungan di Polorejo senopati itu tertarik akan kecantikan putrinya tumenggung Brotonegoro yang sedang menjada kembang. Akan tetapi sang tumenggung sangat keberatan jika anaknya dijadikan selir oleh sang senopati, yang menurut cerita sudah banyak selir itu, kata H.Muhyidin Isnyoto (P.Nyoto) / Canggah Mbah Ibrahim.
Karena usahanya tidak berhasil, senopati itu mendekati Tumenggung Sumoroto yang kebetu lan ada ketidak cocokan dengan tumenggung Bro tonegoro. Maka di aturlah siasat memfitnah sang tumenggung ke Raja Solo, di laporkan bahwa, tumenggung Brotonegoro mbalelo. Mendapat la- poran ini, raja Solo nimbali (memanggil) Broto negoro untuk menghadap sang raja, karena kha watir akan terjadi sesuatu pada dirinya, maka dia minta bantuan KH. Ghozali untuk menghadap ke Solo. Jangan-jangan jika tumenggung sendiri yang menghadap, sesampainya di keraton terus di penjarakan. Karena ini merupakan persoalan yang tidak ringan, maka K. Ghozali meminta waktu satu bulan, setelah berjalan waktu yang telah di tentukan, diam-diam raja Solo mengirim kan telik sandi (intel) pribadi agar menyelidiki ke temenggungan Polorejo. Hasil investigasi dari pa da telik sandi itu adalah bahwa, tidak di peroleh bukti–bukti yang kuat yang menunjuk kan ada nya tumenggung Polorejo Brotonegoro akan mbalelo (memberontak) ke Solo. Telik san di itu tidak mendapati adanya pelatihan-pelatihan pe rang yang dilakukan oleh para prajurit kate meng gungan, yang di dapati hanyalah latihan pencak silat biasa saja, dan ketika ditanyakan kepada penduduk desa, mereka rata-rata menjawab tidak ada apa-apa, lagi pula situasi lingkungan kate menggungan tampak aman tidak ada tanda-tanda yang membahayakan keamanan, dan persiapan pemberontakan.
Kemudian raja Solo mengirim lagi utusan untuk memanggil Brotonegoro agar menghadap Raja, seraya utusan itu mengatakan bahwa Raja tidak akan menghukumnya dengan jaminan diri nya sendiri. Artinya jika sampai di Solo Brotone goro jadi dihukum, maka hidup dan matinya utusan itu diserahkan kepada Brotonegoro.
Hadiyah dari Tumenggung Polorejo
Ketika Tumenggung Brotonegoro memenuhi pang gilan rajanya berangkat dari Polorejo bersama-sama para prajurit dan utusan me nuju Solo, dalam perja lanan tidak mendapati gangguan apapun dan selamat sampai di kera ton. Kemudian Tumenggung bersama utusan me masuki keraton menghadap Raja, sesampainya di hadapan raja tidak ada tutur kata yang mengan cam keselamatannya dari rajanya, bahkan hanya membicarakan tentang keadaan keamanan kate menggungan, dan kesejahteraan penduduk Kabu paten Polorejo dan tidak ada yang lain. Menjadi legalah hati sang tumenggung setelah sekian wak tu di hadapan raja diterima dengan baik dan tidak ada tanda-tanda untuk di rangket (di tangkap) untuk di penjarakan.
Setelah selesai pisowanan (menghadap) raja, Brotonegoro pulang kembali ke Kabupaten Polo rejo dengan selamat, dan sesampainya di dalem Kabupaten terus istirahat untuk melepas lelah dan bersyukur kepada Tuhan bahwa dirinya terle pas dari fitnah yang mengancamnya dengan hu kuman penjara. Kemudian karena itu lalu bebe rapa hari kemudian tumenggung Brotonegoro me ngumpulkan istri dan anak putrinya yang menjan da itu untuk dinikahkan dengan K. Ghozali seba gai hadiah atas bantuannya dalam penyelematan beliau dari ancaman raja Solo. Lalu terjadilah per nikahan itu atas persetujuan kedua belah pihak yaitu anak putri Brotonegoro yang janda dengan K. Ghozali.
Disamping K. Ghozali diberi hadiyah anak putri seorang tumenggung, juga dihadiyahi se buah lumbung tempat penyimpanan padi, yang mana bangunan lumbung itu bahan-bahannya dibuat dari kayu-kayu jati. Dan selanjutnya lum bung itu diboyong ke Cokromenggalan, oleh K. Ghozali di jadikan Masjid, peristiwa itu terjadi pada tahun 1830, sampai sekarang bangunan Masjid dari lumbungnya tumenggung Brotone goro itu masih baik.
Hadiyah yang ketiga dari tumenggung Bro tonegoro kepada K. Ghozali adalah sebidang tanah yang masih berwujud hutan angker yang terletak di timur utaranya dalem katemenggu ngan + 1 km. Yang mana tanah itu setelah K. Ibrahim menamatkan belajarnya di Makah, oleh K. Ghozali kelak akan diberikan kepada Ibrahim putra pertama satu-satunya yang ilmunya sudah mum puni. Karena tampaknya K. Ibrahim lebih bersikap tawa dlu’ kepada ayahnya, dia enggan menggantikan ayahnya selama ayahnya masih hidup, begitulah jawaban K. Ibrahim ketika di suruh menggantikan ayahnya untuk mengasuh pesantren Cokromenggalan. Oleh karena itu, agar Ibrahim juga ikut berperan aktif dalam pengem bangan dakwah agama Islam, K. Gho zali memberinya tanah hadiyah tumenggung Brotonegoro yang masih beru pa hutan dan belum berpenduduk yang terletak di timur laut dalem katemenggungan itu kepada Ibrahim. Sete lah cukup perbekalan Ibrahim bersama istrinya berpamit kepada ayahnya untuk babat hutan dan menem pati tanah yang baru, dan memang be tul sebagaimana yang diceritakan banyak pung gawa katemenggungan bahwa tanah itu terkenal angker, ketika Ibrahim mulai menebangi semak-semak dan pepohonan banyak gangguan dari makhluq halus. Namun pekerjaan itu tetap di lakukan tanpa menyerah sedikitpun, dan ketika malam hari tiba gubuk yang di diami Ibrahim ketika babad hutan itu sering di ganggu oleh makhluq halus berbentuk manusia yang gimbal rambutnya, besar badannya dan hitam kelam kulit tubuhnya yang biasa disebut orang dengan nama Memedi. Akan tetapi Ibrahim tetap tegar menghadapi gangguan-gangguan itu, yang akhir nya dengan do’a-do’a yang di wiridkan, maka para makhluq halus yang berbentuk genderuwo, wewe dan memedi itu tunduk dan menyerah kalah, dan selanjutnya para makhluq halus itu oleh Ibrahim di tempatkan pada sebuah pohon kayu di sekitar lokasi tanah babadannya. Sampai sekarang pohon dan tempat para makhluq halus itu tetap utuh tidak ada orang yang berani mengu siknya, dan pohon itu letaknya di timur lurung masuk masjid Bedi sebelah tenggaranya masjid. Yang kemudian lingkungan tanah babadan K. Ibrahim itu di namakan dengan nama Bedi dari kata Memedi dengan menghi langkan awalan me menjadi Medi yang akhirnya menjadi Mbedi, karena kata mbedi itu agak berat dalam pengu capan, maka menjadi Bedi. Sampai sekarang wilayah lingkungan yang di babad oleh K. Ibrahim ini dinama kan Bedi.
SAE SAE
BalasHapuspada umur berapa nggeh kh. ibrahim ghazali menikah?
BalasHapus