Pembuktian Dalam Peradilan Di Indonesia

Pembuktian Dalam Peradilan Di Indonesia

My-Dock - Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkkan dan menbuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.

Yang harus dibuktikan dalam sidang adalah segala sesuatu yang didalilkan disangkal atau dibantah oleh pihak lawan. Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang diakui, dibenarkan, tidak dibantah pihak lawan, segala sesuatu yang dilihat oleh hakim dan segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum (Rasyid, 1991: 138). Alat bukti yang sah dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut.

1. Bukti Surat
Bukti surat adalah bukti berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan atau hal-hal tertentu (Soeberkti, 1992: 178). Dalah hukum acara perdata dikenal tiga bukti surat, yaitu:
  • Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti.
  • Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang . Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi .
  • Akta dibawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
2. Bukti Saksi
Saksi adalah orang yang menyaksikan, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi, biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa (Soeberkti, 1992:180). Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:
  • Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
  • Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar, diketahui, dan dialami sendiri.
  • Kesaksian harus diberikan didepan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
  • Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
  • Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.
  • Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditum).
  • Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis ).
Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut (Pasal 145 ayat (1) HIR).
  • Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
  • Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun telah bercerai.
  • Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur lima belas tahun.
  • Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah sebagai berikut:
  • Saudara laki-laki dan saudara perempuan ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.
  • Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.
  • Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia .

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.

Undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain .

3. Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau majlis hakim terhadap suatu peristiwa yang terang, nyata, kearah peristiwa yang belum terang kenyataannya (Soeberkti, 1992:181). Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
  • Persangkaan Undang-undang
  • Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain.
  • Persangkaan Hakim
  • Persangkaan hakim yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain (Soeberkti, 1992: 181).
4. Pengakuan
Pengakuan terhadap suatu peristiwa yang didalilkan dianggap telah terbukti adanya peristiwa yang didalilkan tersebut (Soeberkti, 1992: 183) .

Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi . Pengakuan terbagi menjadi dua yaitu,
  • Pengakuan di depan sidang (Pasal 174 HIR).
  • Pengakuan didepan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan atau mengakui seluruhnya atau sebagian saja.
  • Pengakuan didepan sidang dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan didepan persidangan.
  • Pengakuan di luar sidang (Pasal 175 HIR).
  • Pengakuan diluar sidang secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung dari penilaian hakim yang memeriksa. 
5. Sumpah 
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar (Kussunaryatun, 1995: 68).

Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak (Pasal 177 HIR). Sumpah terdiri dari:
  • Sumpah promossoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Kussunaryatun, 1995: 68).
  • Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar (Kussunaryatun, 1995: 68). Sumpah confirmatoir terdiri dari:
    • Sumpah supletoir atau bisa dikatakan sumpah pelengkap, atau sumpah penambah yaitu sumpah yang diberikan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian.
    • Sumpah decissoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya .
Sumber Referensi
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
…………, https://bengkuluutara.wordpress.com/2008/07/23/teori-pembuktian/, (23 Jul 2008 diakses 07 Apr 2011).
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006.

Hukum Poligami Di Negara Indonesia dan Tunisia

Poligami

Hukum Poligami Di Negara Indonesia dan Tunisia - Seperti yang dikatakan oleh M Zaki Saleh dalam karya tulisnya, Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)  atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)  dan gamos (kawin).  Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).   Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligami. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri.  Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan: 
“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”    
Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy, yang berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian) dan gamos (perkawinan). Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
  • Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.
  • Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi  seumur hidup.  
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.

Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidak tepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan monogami  sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal. 

Indonesia 
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.  Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenang-wenang. 

Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991.  Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.  Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-. 

Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.

Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami  yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.

Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah  sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”. 

Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,   bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan  Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden  pertamanya.

Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami.  Majallat  itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.

Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu: 
  1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
  2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
  3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
  4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
  5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;
Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957 . dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.

Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18  menyatakan:
  1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya .
  2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
  3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.
Dalam Pasal 18 UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang . Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain  dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3).  Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.

Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.

Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.
 
Selain itu, para reformis di Tunisia  menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Al-Quran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan  kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil.  Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”

Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak  negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia  menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan  pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3.  Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.
Yang dimaksud dengan poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan lawan dari poligami adalah monogami, yaitu sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri.

Di negara indonesia perbuatan poligami diperbolehkan, dengan syarat jika suami akan melakukan poligami harus mendapat persetujuan dari si istri, dapat berlaku adil dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama. Sedangkan sanksi yang dijatuhkan kepada suami yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman kurungan maksimal 3 bulan dan denda Rp. 7.500,-. Sanksi ini juga ditujukan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan.

Sedangkan di negara Tunisia perbuatan poligami dilarang keras. Hal ini didasarkan pada surat An-Nisa’ ayat 3, yang artinya: “seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3)”. Dengan dasar tersebut kemudian negara Tunisia membuat UU tentang pernikahan, yaitu UU No. 3 tahun 1957.

Berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar UU tersebut adalah:
  1. Siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
  2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
  3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.
Daftar Pustaka
Saleh, M Zaki, Tren Kriminalisasi Dalam Hukum Keluarga Di Negara-negara Muslim.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya. 
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
Larry A. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), hlm. 1798.

Hukum Perjanjian

My-Dock - Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu mengenai harta kekayaan. Unsur-unsur perjanjian antara lain adalah,
a.Esentialia, ialah unsur perjanjian yang harus ada,
b.Naturalia, ialah unsur perjanjian yang sewajarnya ada jika tidak dikesampingkan,
c.Accidentalia, ialah unsur perjanjian yang ada, jika dikehendaki.

A. Asas-asas perjanjian
a.Consensualitas, ialah ada kata sepakat antara kedua belah pihak,
b.Kebebasan berkontrak, para pihak bebas membuat perjanjian,
c.Mengikat kedua belah pihak, perjanjian yang sesuai dengan pasal 1320 BW,
d.Itikat baik, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik.

B. Keabsahan perjanjian
Hukum Perjanjiana.Sepakat, ialah kesepakatan yang bebas bukan karena:
a)Khilaf
b)Penipuan
c)Paksaan

b.Cakap
c.Hal tertentu (obyek)
a)Dapat diperdagangkan (1332)
b)Diketahui jenisnya (1333)
c)Barang yang akan ada (1334).

d.Causa yang halal, tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, ketentuan umum.

C. Jenis-jenis perikatan
a.Perikatan bersyarat (jika kedua persyaratan dilaksanakan)
a)Perikatan dengan syarat tangguh
•Pelaksanaan ditanggungkan pada syarat (peristiwa yang belum pasti terjadi)
•Jika syarat terjadi perikatan dilaksanakan (1263)

b)Perikatan dengan syarat batal
•Pembatalan digantungkan pada syarat (peristiwa yang belum pasti terjadi)
•Jika syarat terjadi pembatalan dilaksanakan.
Batalnya bukan batal dengan sendirinya atau batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan pada hakim.

b.Pembatalan dengan ketetapan waktu, yaitu pelaksanaan perikatan digantungkan pada waktu (belum terjadi, tapi pasti terjadi). 1269

c.Perikatan manasuka (1272)
a)Prestasi atau obyek perikatan ada dua
b)Debitur yang memilih prestasinya

d.Perikatan tangguh menangguh
a)Perikatan tangguh menangguh aktif (kreditur lebih dari seorang).
b)Perikatan tangguh menangguh pasif (debitur lebih dari seorang).
“setiap debitur wajib penuhi prestasi, akan tetapi jika salah seorang debitur sudah melunasi maka debitur lainnya bebas”.
Contoh:
•Firma (pasal 18 KUHD)
•Peminjaman barang (pasal 1749 KUHPer)
•Pemberian kuasa (pasal 1811 KUHPer)
•Jaminan orang (pasal 1836 KUHPer)
(Subyek hukum dalam Hukum Pidana adalah pemikul hak dan kewajiban, yaitu orang dan badan hukum. Badan hukum menjadi subyek hukum karena mempunyai kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi).

e.Perikatan dengan ancaman hukuman (1304-1305)
Memuat suatu ancaman hukuman bagi debitur yang wanprestasi, untuk memastikan pelaksanaan prestasi, untuk menetapkan jumlaah ganti rugi jika wanprestasi, ancaman hukum bersifat asesoir. Jika perikatan pokok batal maka ancaman hukuman batal juga dan apabila ancaman hukum batal, perikatan pokok juga batal.