Tanggal 21 Juli 1947 dan 18 Desember 1948, niat untuk menyele-saikan ketimpangan dengan Masyumi ditangguhkan, berhubung suasana Revolusi dan dua kali menghadapi agresi militer Belanda. Tiada maksud lain dari NU kecuali agar konsentrasi umat Islam menghadapi agresi militer Belanda tidak tergoyahkan. Dua bulan setelah muktamar Madiun agresi militer Belanda yang pertama 21 Juli 1947 behasil merebut markas tertinggi Hizbullah dan Sabilillah di Malang, berita buruk ini di sampai-kan oleh K. Ghufron pimpinan Sabilillah Surabaya dan Panglima Besar Jendral Sudirman dan Bung Tomo kepada KH. Hasyim Asy’ari di Jom-bang, mendengar berita ini beliau memegangi kepalanya sambil berseru :
Dengan meninggalnya KH. Hasyim Asy’ari ini, bukan berarti per juangan NU harus berhenti. Seperti kata peribahasa “Patah satu tumbuh seribu, patah hilang tumbuh kembali”. Perhatian NU tetap tertuju kearah pertempuran pisik melawan agresi Belanda, beberapa pasukan tempur Hizbullah dan Sabilillah dikirim ke garis depan, dan sebagian lagi di ke-rahkan untuk mengamati aksi-aksi komunis yang mulai mencurigakan.“Masya Alloh, Masya Alloh, Masya Alloh”, lalu beliau pingsan dan me-ngalami pendarahan otak, malam itu juga tanggal 7 Ramadlan 1366 H / 25 Juli 1947 Rais Akbar NU berpulang ke Rahmatulloh.
Pada bulan September 1948 aksi-aksi komunis ( PKI ) telah sam-pai pada puncaknya melakukan pemberontakan bersenjata yang dikenal dengan “Madiun Affair”. NU memandang pemberontakan PKI sebagai an caman serius bagi keselamatan Republik Indonesia. Untuk menghadapi pemberontakan ini markas tertinggi Hizbullah pimpinan Zainul Arifin me ngirim devisi Hizbullah Surabaya pimpinan Wahib Wahab dan memasu-ki Madiun dari jurusan Nganjuk, sedang devisi Hizbullah Magelang pim-pinan Saifuddin Zuhri memasuki Madiun dari jurusan Ngawi, sementara itu pasukan Siliwangi mengadakan pengejaran dari Selatan Madiun.
Pada tanggal 31 Oktober 1948, pimpinan pemberontak PKI Madi-un yang bernama Muso berhasil disergap dan mati di tembak oleh kesa- tuan dari devisi Saifudin Zuhri pimpinan Hizbullah di Desa Niten Keca matan Kauman Sumoroto Kabupaten Ponorogo.
Pada tanggal 29 Nopember 1948, Amir Syarifuddin pimpinan pemberontak PKI Madiun dengan kawan-kawannya ditangkap hidup di Desa Klompok Purwodadi Jawa Tengah. Kedua devisi Hizbullah Surabaya pimpinan Wahib Wahab dan Hizbullah Magelang pimpinan Saifuddin Zuhri dengan cara bahu membahu bersama TNI dan lain-lain kelasykaran bersenjata dapat merebut kembali Madiun ke pangkuan Republik Indonesia. Kemudian pada tanggal 1 Desember 1948 tokoh-tokoh pemberontak seperti : Amir Syarifuddin, Djoko Suyono, Maruto Darusman, dan Suripno di bawa ke Yogjakarta untuk di adili dengan pera dilan Setelah permusuhan dengan Belanda dinyatakan selesai dengan berhasilnya “Konferensi Meja Bundar” ( KMB ) di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949 s/d 29 Oktober 1949 disusul dengan dibentuknya “Negara Republik Indonesia Serikat” ( RIS ) dan kemudian disusul lagi terbentuk-nya “Negara Kesatuan Republik Indonesia” ( NKRI ) dengan kembalinya ibukatoa negara dari Yogjakarta ke Jakarta, NU mengalihkan perhatianya kepada penyelesaian organisatoris dengan partai Masyumi.
Pada tanggal 30 April 1950 s/d 3 Mei 1950 diselenggarakan Muk-tamar NU ke XVIII di Jakarta, dengan salah satu keputusannya adalah NU keluar dari Masyumi, selain keputusan penting itu Muktamar juga menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Am ( istilahnya bukan lagi Rais Akbar ) menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Dan juga menyetujui berdirinya organisasi Remaja Wanita NU yang diberi nama “Fatayat NU”.
Pada Muktamar NU ke 19 di Palembang tahun 1952 diputuskan bahwa NU menjadi partai Politik. Dalam pemilu pertama 1955 partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Selama perkembangan tahun 1926 – 1955 NU telah melakukan berbagai perubahan cukup berarti, baik untuk kepentingan intern NU maupun bagi kepentingan bangsa pada umumnya. Untuk kepentingan in-tern, NU telah mengadakan perbaikan di bidang pendidikan, sosial mau-pun dakwah, bahkan mengembangkan sayap organisasinya di kalangan kaum muda, remaja puteri maupun kaum ibu, berupa organisasi GP. An-sor, Fatayat NU dan Muslimat NU, ini berarti eksistensi NU sebagai orga nisasi sosial keagamaan semakin kokoh.
Selama perkembangan tahun 1926 – 1955 NU telah melakukan berbagai perubahan cukup berarti, baik untuk kepentingan intern NU maupun bagi kepentingan bangsa pada umumnya. Untuk kepentingan in-tern, NU telah mengadakan perbaikan di bidang pendidikan, sosial mau-pun dakwah, bahkan mengembangkan sayap organisasinya di kalangan kaum muda, remaja puteri maupun kaum ibu, berupa organisasi GP. An-sor, Fatayat NU dan Muslimat NU, ini berarti eksistensi NU sebagai orga nisasi sosial keagamaan semakin kokoh.
Sedangkan yang bersifat ekstern (keluar), NU telah mempelopori terbentuknya MIAI, sekaligus mengakhiri pertikaian Khilafiyah hingga kemudian bisa bahu membahu dengan GAPI, menuntut Indonesia berpar-lemen kepada pemerintah Hindia Belanda. Di jaman Jepang, politik Yahannu, NU cukup berhasil untuk mendirikan Masyumi, Shumuka, Hizbullah dan Sabilillah bersama tokoh-tokoh Islam diluar NU. Dan semua itu akan memaksa kita untuk mengakui keterlibatan NU dalam per juangan merebut Kemerdekaan Indonesia baik secara politik dan fisik.
Pada April 1961, tokoh-tokoh NU memprihatinkan Penpres no. 7 tahun 1959 dan Penpres no. 13 tahun 1960 tentang penyederhanaan partai dan syarat-syarat partai yang berhak hidup, pertanyaan mereka : Apakah NU masih boleh hidup atau tidak ?.
Pada tanggal 15 April 1961, Presiden Soekarno menetapkan putu-sannya untuk mengakui kedudukan 8 (delapan) Partai Politik yang berhak hidup, satu diantaranya adalah NU. Setelah eksistensi NU diakui, dan beberapa bulan sebelum itu terjadi permusuhan politik “Poros Jakarta Peking” yang mengakibatkan politik condong ke kiri, NU segera menga-dakan konsulidasi organisasi. NU sudah melihat tindakan politik PKI se-makin berani dan keras, saat itu KH. Syaifuddin Zuhri mengemukakan :
“Perlawanan NU terhadap PKI dilakukan di semua medan juang, PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi pemuda Ansor menjadi Banser yang lebih militan. PKI menyanyikan lagu Genjer-Genjer yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan bacaan Shalawat Badar..
....NU mengobarkan semaangat perlawanan terhadap PKI sebagai kelanjutan peristiwa aksi PKI di Madiun 1948”.
Pada bulan Juli dan Agustus 1965, CGMI dan PR (Pemuda Rak-yat) mengadakan latihan rahasia di Lubang Buaya, untuk apa latihan kemiliteran itu dilakukan belum bisa diketahui secara pasti. Melihat kea-daan yang menghawatirkan itu Ketua IV PBNU HM. Subhan ZE yang sejak lama menggalang persatuan di kalangan HMI, PMII, Pemuda Ansor, Muhammadiyah dan lain sebagainya, mengadakan kontak dengan kekuatan pemuda lainnya, khususnya dari partai atau ormas Katholik dan Kristen terutama PMKRI.
Bersambung ke.....
0 komentar:
Posting Komentar