Saat ini umat Islam berada di antara jalan-jalan yang penuh kebimbangan. Umat Islam belum memiliki pemahaman yang komprehensif dalam beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari. Urusan-urusan yang tidak penting dan tidak mendesak cenderung lebih diutamakan daripada urussan-urusan yang penting dan tidak mendesak, juga mengutamakannya dari pada urusan-urusan yang mendesak dan penting.
Islam mengajarkan seluruh tata cara beramal dalam kehidupan ini, termasuk dalam hal-hal yang membutuhkan skala prioritas. Dengan kata lain, umat Islam perlu memahami tentang aktifitas-aktifitas yang wajib dan mendesak untuk didahulukan dan juga perlu mengetahui hal-hal yang dilahirkan dari keseluruhan aktifitas-aktifitas. Pemahaman ini (fiqh) mutlak dibutuhkan agar umat Islam mampu mengerjakan seluruh kewajiban-kewajibannya secara optimal dan mampu meninggalkan larangan-larangan Alah SWT secara bertahap.
Kasus yang sering terjadi di kalangan umat Islam saat ini adalah banyaknya dari mereka yang mendahulukan perkara-perkara tidak penting dan tidak mendesak di atas perkara-perkara yang mendesak dan penting. Pembangunan di bidang kesenian dan hiburan lebih diutamakan daripada pembangunan pendidikan dan kesehatan. Pengembangan aspek jasmaniah lebih diutamakan daripada aspek-aspek rohaniah. Dengan demikian, bila umat Islam tidak memiliki pemahaman yang komprehensip tentang urutan amal maka kemajuan Islam tidak akan pernah tercapai.
Pengertian Fiqih Prioritas
Menurut Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya Fiqih Prioritas, beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fiqih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu yang “biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.
Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (ar-Rahman:7-9).
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya merupakan persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.
Hubungan Fiqih Prioritas dengan Fikih Lainnya
FIQH prioritas memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk fiqh lainnya. Dalam beberapa hal, ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan (muwazanah). Peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan ini ialah:
1) Pertimbangan Antara Berbagai Kemaslahatan Satu Dengan Lainnya
Pada kategori pertama (kemaslahatan), kita dapat menemukan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli usul fiqh. Mereka membagi kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyyat, dan tahsinat. Yang dimaksudkan dengan dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali dengannya; dan hajjiyyat ialah kehidupan memungkinkan tanpa dia, tetapi kehidupan itu mengalami kesulitan dan kesusahan; dan tahsinat ialah sesuatu yang diper-gunakan untuk menghias dan mempercantik kehidupan, dan seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).
Fiqih prioritas mengharuskan kita:
a) Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap tahsinaf;
b) Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.
Pada sisi yang lain, dharuriyyat sendiri terbagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian. Para ulama menyebutkan bahwa dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta kekayaan. Sebagian ulama menambahkan dharuriyyat yang keenam, yaitu kehormatan.
Agama merupakan bagian pertama dan terpenting daripada dharuriyyat. Ia harus didahulukan atas berbagai macam dharuriyyat yang lain, sampai kepada jiwa manusia. Begitu pula, jiwa harus diutamakan atas dharuriyyat yang lain di bawahnya.
Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:
a) Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan.
b) Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
c) Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.
d) Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.
e) Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan yang sementara dan insidental.
f) Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
2) Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi saw yang mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental, serta kepentingan masa depan atas kepentingan yang bersifat formalitas dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia.
Rasulullah saw menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga bahwa penerimaan itu tidak adil bagi kaum Muslim, sehingga mereka harus menerima bagian yang kurang ... Pada saat itu baginda Nabi saw yang mulia menerima permintaan orang kafir untuk menghapuskan "basmalah" yang tertulis pada lembar perjanjian, dan sebagai gantinya ditulislah "bismika allahumma." Selain itu, beliau juga merelakan untuk menghapuskan sifat kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi saw yang mulia "Muhammad Rasulullah" dan cukup hanya dengan menuliskan nama beliau saja "Muhammad bin Abdullah". Semua itu dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan perdamaian di balik itu, sehingga memungkinkannya untuk menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak raja-raja di dunia ini untuk memeluk Islam. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur'an al-Karim dengan istilah kemenangan yang nyata (fath mubin). Contoh-contoh serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.
2) Pertimbangan antara Kerusakan dan Madharat yang Satu dengan Lainnya
Pada bagian kedua --kerusakan dan Madharat-- kita dapat menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan, sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan. Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat adalah berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat, atau tahsinat. Kerusakan yang dapat membahayakan harta benda tidak sama tingkatannya dengan kerusakan yang dapat membunuh jiwa; dan juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama dan aqidah.
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain.
1) "Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
2) "Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
3) "Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar."
Seseorang dalam keadaan sulit atau mendapatkan kemadharatan tidak boleh menghilangkan dengan kemadharatan serupa. Tetapi apabila ia tetap saja tidak bisa menghilangkan madharat itu, maka supaya dicari madharat yang lebih ringan. Contohnya adalah, Seorang Dokter yang menangani pasiennya, seorang ibu hamil mengalami kesulitan untuk menyelamatkan ibu dan anak yang ada dalam kandungan. Jalan satu-satunya harus dikorbankan salah satunya, dan dalam hal ini dokter harus menyelamatkan jiwa ibunya, ketimbang anak yang masih dalam kandungan.
3) Pertimbangan antara Maslahat dan Kerusakan Apabila Kedua Hal yang Bertentangan ini Bertemu
Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan kerusakannya, ada bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan betul. Kita harus mengambil keputusan terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hokum yang menyeluruh.
Kalau misalnya kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dalam suatu perkara dibandingkan dengan manfaat yang terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini mesti dicegah, karena kerusakan lebih banyak, kita terpaksa mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya.
Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan oleh al-Qur'an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi ketika dia memberikan jawaban terhadap orang-orang yang bertanya mengenai kedua hal itu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi”.
Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)
Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Di antara kaidah penting dalam hal ini ialah:
"Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat."
Kaidah ini kemudian disempurnakan dengan kaidah lain yang dianggap penting:
1) "Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh, kemaslahatan yang lebih besar."
2) "Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
3) "Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam masalah Siyasah Syari'ah (politik syari'ah), karena ia merupakan landasan bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.
Cara mengetahui kemaslahatan dan kerusakan
Kemaslahatan yang mesti dipelihara ialah kepentingan dunia dan kepentingan akhirat; atau kepentingan dunia sekaligus kepentingan akhirat secara bersamaan. Begitu pula halnya dengan kerusakan yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya.
Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini dapat diketahui melalui akal pikiran, atau melalui ketetapan agama, atau melalui keduanya sekaligus[5].
Pendapat Ibn Abd Al-Salam
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara untuk mengetahui bemaslahan dan kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya. Dengan jelas beliau menulis dalam bukunya, Qawa'id al-Ahkam Mashalih al-Imam:
"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih) atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang baik."
Orang-orang yang bijak pun sepakat dengan pendapat di atas. Begitu pula, berbagai ajaran syari'ah mengharamkan darah, harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang terbaik, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Apabila terdapat perselisihan pendapat pada sebagian persoalan tersebut, maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul ketika ada kesamaan pertimbangan antara maslahat dan madharat. Pada saat inilah orang-orang merasa bimbang mengambil keputusan.
Begitu pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua macam penyakit pada pasiennya, mereka akan mengambil risiko yang paling ringan, dan mengambil keselamatan dan kesehatan yang paling tinggi, dan tidak mengindahkan risiko yang ringan itu. Akan tetapi mereka akan bimbang manakala menghadapi risiko dan keselamatan yang sama. Dunia kedokteran bagaikan syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil keselamatan dan kesehatan, menolak kerusakan dan penyakit. Ia diadakan untuk menolak segala kemungkinan buruk yang mungkin timbul, dan mengambil kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan jika penolakan terhadap keburukan itu tidak dapat dilakukan, pengambilan terhadap kebaikan juga tidak dapat dilakukan, sehingga tingkat keburukan dan kebaikan berada pada satu titik yang sama, maka ia harus mengambil keputusan. Jika ada perbedaannya, maka ia harus memilih pertimbangan yang lebih berat. Dan jika tidak ada perbedaannya, maka ia tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah juga yang menetapkan aturan dalam dunia kedokteran. Dua dunia ini sama-sama diletakkan untuk mengambil kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan kerusakan dari mereka.
Kemaslahatan dan kerusakan dunia dan akhirat berada pada tingkat yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan ada pula yang di bawahnya. Namun ada pula yang sama tingkatannya.
Kemaslahatan dan kerusakan ini terbagi lagi menjadi hal-hal yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati. Setiap persoalan yang diperintahkan kepada kita untuk kita lakukan merupakan persoalan yang mengandung kemaslahatan bagi dunia dan akhirat, atau salah satu di antara kedua hal itu.
Dan setiap yang dilarang pasti mengandung kerusakan bagi dunia dan akhirat, atau kerusakan pada salah satu di antara keduanya. Perbuatan yang menghasilkan kemaslahatan yang paling baik merupakan amalan yang paling mulia, sedangkan perbuatan yang menghasilkan kerusakan yang paling buruk merupakan amalan yang paling hina. Tidak ada kebahagiaan yang lebih baik daripada makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT; dan tidak ada kesengsaraan yang lebih buruk daripada kebodohan terhadap ajaran agama, kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Pahala yang diterima di akhirat kelak juga berbeda menurut tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa yang akan diberikan di akhirat juga akan dilihat menurut tingkat kerusakan yang dilakukan. Sebagian besar tujuan ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an al-Karim ialah menyuruh kita mengambil kemaslahatan dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dan mencegah kita untuk melakukan kerusakan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Tidak ada penisbatan kemaslahatan dan kerusakan di dunia terhadap kemaslahatan dan kerusakan di akhirat. Karena sesungguhnya kemaslahatan di akhirat kelak pahalanya ialah surga yang abadi dan keridhaan Allah, dengan memandang keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya kenikmatan yang abadi ini.
Sedangkan kerusakan di akhirat balasannya ialah neraka yang abadi dan kemurkaan Allah, dengan tidak berkesempatan memandang keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang pedih dan abadi ini.
Islam mengajarkan seluruh tata cara beramal dalam kehidupan ini, termasuk dalam hal-hal yang membutuhkan skala prioritas. Dengan kata lain, umat Islam perlu memahami tentang aktifitas-aktifitas yang wajib dan mendesak untuk didahulukan dan juga perlu mengetahui hal-hal yang dilahirkan dari keseluruhan aktifitas-aktifitas. Pemahaman ini (fiqh) mutlak dibutuhkan agar umat Islam mampu mengerjakan seluruh kewajiban-kewajibannya secara optimal dan mampu meninggalkan larangan-larangan Alah SWT secara bertahap.
Kasus yang sering terjadi di kalangan umat Islam saat ini adalah banyaknya dari mereka yang mendahulukan perkara-perkara tidak penting dan tidak mendesak di atas perkara-perkara yang mendesak dan penting. Pembangunan di bidang kesenian dan hiburan lebih diutamakan daripada pembangunan pendidikan dan kesehatan. Pengembangan aspek jasmaniah lebih diutamakan daripada aspek-aspek rohaniah. Dengan demikian, bila umat Islam tidak memiliki pemahaman yang komprehensip tentang urutan amal maka kemajuan Islam tidak akan pernah tercapai.
Pengertian Fiqih Prioritas
Menurut Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya Fiqih Prioritas, beliau menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fiqih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu yang “biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.
Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (ar-Rahman:7-9).
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya merupakan persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.
Hubungan Fiqih Prioritas dengan Fikih Lainnya
FIQH prioritas memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk fiqh lainnya. Dalam beberapa hal, ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan (muwazanah). Peran terpenting yang dapat dilakukan oleh fiqh pertimbangan ini ialah:
- Memberikan pertimbangan antara berbagai kemaslahatan dan manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
- Memberikan pertimbangan antara berbagai bentuk kerusakan, madharat, dan kejahatan yang dilarang oleh agama.
- Memberikan pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang bertentangan ini bertemu satu sama lain.
1) Pertimbangan Antara Berbagai Kemaslahatan Satu Dengan Lainnya
Pada kategori pertama (kemaslahatan), kita dapat menemukan kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli usul fiqh. Mereka membagi kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyyat, dan tahsinat. Yang dimaksudkan dengan dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak bisa hidup kecuali dengannya; dan hajjiyyat ialah kehidupan memungkinkan tanpa dia, tetapi kehidupan itu mengalami kesulitan dan kesusahan; dan tahsinat ialah sesuatu yang diper-gunakan untuk menghias dan mempercantik kehidupan, dan seringkali kita sebut dengan kamaliyyat (pelengkap).
Fiqih prioritas mengharuskan kita:
a) Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat, apalagi terhadap tahsinaf;
b) Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan kamaliyyat.
Pada sisi yang lain, dharuriyyat sendiri terbagi-bagi lagi menjadi beberapa bagian. Para ulama menyebutkan bahwa dharuriyyat itu ada lima macam: agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta kekayaan. Sebagian ulama menambahkan dharuriyyat yang keenam, yaitu kehormatan.
Agama merupakan bagian pertama dan terpenting daripada dharuriyyat. Ia harus didahulukan atas berbagai macam dharuriyyat yang lain, sampai kepada jiwa manusia. Begitu pula, jiwa harus diutamakan atas dharuriyyat yang lain di bawahnya.
Dalam memberikan pertimbangan terhadap berbagai kepentingan tersebut, kita dapat mempergunakan kaidah berikut ini:
a) Mendahulukan kepentingan yang sudah pasti atas kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih diragukan.
b) Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang kecil.
c) Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan individual.
d) Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan yang sedikit.
e) Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas kepentingan yang sementara dan insidental.
f) Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
2) Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas kepentingan kekinian yang lemah.
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah, kita dapat melihat Nabi saw yang mulia memenangkan kepentingan inti dan fundamental, serta kepentingan masa depan atas kepentingan yang bersifat formalitas dan tidak penting, yang seringkali menipu manusia.
Rasulullah saw menerima syarat-syarat yang pada awalnya diduga bahwa penerimaan itu tidak adil bagi kaum Muslim, sehingga mereka harus menerima bagian yang kurang ... Pada saat itu baginda Nabi saw yang mulia menerima permintaan orang kafir untuk menghapuskan "basmalah" yang tertulis pada lembar perjanjian, dan sebagai gantinya ditulislah "bismika allahumma." Selain itu, beliau juga merelakan untuk menghapuskan sifat kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi saw yang mulia "Muhammad Rasulullah" dan cukup hanya dengan menuliskan nama beliau saja "Muhammad bin Abdullah". Semua itu dilakukan oleh Rasulullah saw untuk mendapatkan ketenangan dan perdamaian di balik itu, sehingga memungkinkannya untuk menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak raja-raja di dunia ini untuk memeluk Islam. Tidak diragukan lagi bahwa tindakan Rasulullah saw itu disebut di dalam al-Qur'an al-Karim dengan istilah kemenangan yang nyata (fath mubin). Contoh-contoh serupa itu banyak kita temukan pada kehidupan beliau.
2) Pertimbangan antara Kerusakan dan Madharat yang Satu dengan Lainnya
Pada bagian kedua --kerusakan dan Madharat-- kita dapat menemukan bahwa kerusakan dan madharat itu memiliki tingkatan, sebagaimana tingkat yang terdapat pada kemaslahatan. Kerusakan yang dapat merusak perkara yang termasuk dharuriyyat adalah berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat, atau tahsinat. Kerusakan yang dapat membahayakan harta benda tidak sama tingkatannya dengan kerusakan yang dapat membunuh jiwa; dan juga tidak sama dengan kerusakan yang dapat membahayakan agama dan aqidah.
Volume, intensitas, dan bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan dan madharat itu berbeda-beda tingkatannya. Atas dasar inilah, para fuqaha menetapkan sejumlah kaidah yang baku mengenai hukum yang penting; antara lain.
1) "Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
2) "Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
3) "Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang sepadan atau yang lebih besar."
Seseorang dalam keadaan sulit atau mendapatkan kemadharatan tidak boleh menghilangkan dengan kemadharatan serupa. Tetapi apabila ia tetap saja tidak bisa menghilangkan madharat itu, maka supaya dicari madharat yang lebih ringan. Contohnya adalah, Seorang Dokter yang menangani pasiennya, seorang ibu hamil mengalami kesulitan untuk menyelamatkan ibu dan anak yang ada dalam kandungan. Jalan satu-satunya harus dikorbankan salah satunya, dan dalam hal ini dokter harus menyelamatkan jiwa ibunya, ketimbang anak yang masih dalam kandungan.
3) Pertimbangan antara Maslahat dan Kerusakan Apabila Kedua Hal yang Bertentangan ini Bertemu
Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan kerusakannya, ada bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan betul. Kita harus mengambil keputusan terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hokum yang menyeluruh.
Kalau misalnya kerusakannya dirasakan lebih banyak dan lebih berat dalam suatu perkara dibandingkan dengan manfaat yang terkandung di dalamnya, maka perkara seperti ini mesti dicegah, karena kerusakan lebih banyak, kita terpaksa mengabaikan sedikit manfaat yang terkandung di dalamnya.
Keputusan ini didasarkan kepada apa yang dikatakan oleh al-Qur'an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan berjudi ketika dia memberikan jawaban terhadap orang-orang yang bertanya mengenai kedua hal itu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi”.
Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)
Sebaliknya, apabila dalam suatu perkara terdapat manfaat yang lebih besar, maka perkara itu boleh dilakukan, sedangkan kerusakan kecil yang ada padanya dapat diabaikan. Di antara kaidah penting dalam hal ini ialah:
"Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan manfaat."
Kaidah ini kemudian disempurnakan dengan kaidah lain yang dianggap penting:
1) "Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh, kemaslahatan yang lebih besar."
2) "Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
3) "Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam masalah Siyasah Syari'ah (politik syari'ah), karena ia merupakan landasan bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya dapat dipandang sebagai fiqh prioritas.
Cara mengetahui kemaslahatan dan kerusakan
Kemaslahatan yang mesti dipelihara ialah kepentingan dunia dan kepentingan akhirat; atau kepentingan dunia sekaligus kepentingan akhirat secara bersamaan. Begitu pula halnya dengan kerusakan yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya.
Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini dapat diketahui melalui akal pikiran, atau melalui ketetapan agama, atau melalui keduanya sekaligus[5].
Pendapat Ibn Abd Al-Salam
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara untuk mengetahui bemaslahan dan kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya. Dengan jelas beliau menulis dalam bukunya, Qawa'id al-Ahkam Mashalih al-Imam:
"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih) atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang baik."
Orang-orang yang bijak pun sepakat dengan pendapat di atas. Begitu pula, berbagai ajaran syari'ah mengharamkan darah, harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan kepada kita untuk melakukan sesuatu yang terbaik, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Apabila terdapat perselisihan pendapat pada sebagian persoalan tersebut, maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul ketika ada kesamaan pertimbangan antara maslahat dan madharat. Pada saat inilah orang-orang merasa bimbang mengambil keputusan.
Begitu pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua macam penyakit pada pasiennya, mereka akan mengambil risiko yang paling ringan, dan mengambil keselamatan dan kesehatan yang paling tinggi, dan tidak mengindahkan risiko yang ringan itu. Akan tetapi mereka akan bimbang manakala menghadapi risiko dan keselamatan yang sama. Dunia kedokteran bagaikan syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil keselamatan dan kesehatan, menolak kerusakan dan penyakit. Ia diadakan untuk menolak segala kemungkinan buruk yang mungkin timbul, dan mengambil kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan jika penolakan terhadap keburukan itu tidak dapat dilakukan, pengambilan terhadap kebaikan juga tidak dapat dilakukan, sehingga tingkat keburukan dan kebaikan berada pada satu titik yang sama, maka ia harus mengambil keputusan. Jika ada perbedaannya, maka ia harus memilih pertimbangan yang lebih berat. Dan jika tidak ada perbedaannya, maka ia tidak dapat melakukan tindakan apa-apa. Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah juga yang menetapkan aturan dalam dunia kedokteran. Dua dunia ini sama-sama diletakkan untuk mengambil kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan kerusakan dari mereka.
Kemaslahatan dan kerusakan dunia dan akhirat berada pada tingkat yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan ada pula yang di bawahnya. Namun ada pula yang sama tingkatannya.
Kemaslahatan dan kerusakan ini terbagi lagi menjadi hal-hal yang disepakati dan hal-hal yang tidak disepakati. Setiap persoalan yang diperintahkan kepada kita untuk kita lakukan merupakan persoalan yang mengandung kemaslahatan bagi dunia dan akhirat, atau salah satu di antara kedua hal itu.
Dan setiap yang dilarang pasti mengandung kerusakan bagi dunia dan akhirat, atau kerusakan pada salah satu di antara keduanya. Perbuatan yang menghasilkan kemaslahatan yang paling baik merupakan amalan yang paling mulia, sedangkan perbuatan yang menghasilkan kerusakan yang paling buruk merupakan amalan yang paling hina. Tidak ada kebahagiaan yang lebih baik daripada makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT; dan tidak ada kesengsaraan yang lebih buruk daripada kebodohan terhadap ajaran agama, kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Pahala yang diterima di akhirat kelak juga berbeda menurut tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa yang akan diberikan di akhirat juga akan dilihat menurut tingkat kerusakan yang dilakukan. Sebagian besar tujuan ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an al-Karim ialah menyuruh kita mengambil kemaslahatan dengan segala hal yang berkaitan dengannya, dan mencegah kita untuk melakukan kerusakan dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Tidak ada penisbatan kemaslahatan dan kerusakan di dunia terhadap kemaslahatan dan kerusakan di akhirat. Karena sesungguhnya kemaslahatan di akhirat kelak pahalanya ialah surga yang abadi dan keridhaan Allah, dengan memandang keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya kenikmatan yang abadi ini.
Sedangkan kerusakan di akhirat balasannya ialah neraka yang abadi dan kemurkaan Allah, dengan tidak berkesempatan memandang keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang pedih dan abadi ini.
Prioritas adalah sebuah pilihan yang dipilih dari sekian banyak pilihan yang ada dalam fikiran & benak kita sesuai dengan keaadaan atau situasi tertentu.
BalasHapus( Toko Buku Online GarisBuku.com )
“Pertama, melanjutkan dan menguatkan kembali program pendidikan di semua tingkatan pendidikan,” terangnya.
BalasHapusKedua, yakni merevitalisasi aset-aset organisasi yang belum kembali ke pangkuan NU. Ketiga, penerapan manajemen organisasi yang modern secara utuh tanpa meninggalkan ulama.
“Keempat, menggiatkan kembali kegiatan-kegiatan NU di semua tingkatan untuk back to pesantren,” jelasnya.
Empat Program Prioritas PBNU 2015-2020