Pengertian Waris dan Sifatnya
Istilah waris diambil dari bahasa arab yang telah lazim dipergunakan dalam bahasa indonesia. Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah segala peraturan yang mengatur proses meneruskan atau pengoperan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda, (immaterial exgoederen) dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Istilah waris diambil dari bahasa arab yang telah lazim dipergunakan dalam bahasa indonesia. Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah segala peraturan yang mengatur proses meneruskan atau pengoperan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda, (immaterial exgoederen) dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Sifat Hukum Waris
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan pada warisnya. Harta waris adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang hasil penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sabagaimana didalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta waris adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak dapat dibagi adalah harta milik bersama para waris, dan tidak boleh dimiliki secara perorangan, tapi dapat dipakai dan dinikmati bersama.
Hukum waris adat tidak mengenal asas legitieme porttie atau bagian mutlak sebgaimana hukum waris Barat. Dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPer atau dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’.
Harta Peninggalan yang Tak Dapat Dibagi-bagi Larangan membagi harta peninggalan adalah suatu pertanda dalam hukum adat. Ia dapat bertahan akibat dari pengaruh cara berfikir yang komunalistis, yang menghendaki bahwa harta benda yang ditimbulkan itu merupakan harta turun-temurun, tidak dapat dimiliki oleh seseorang karena memang merupakan milik bersama/kolektif.
Harta yang dapat dibagikan kepada anak, menurut hukum adat adalah berupa rumah, tanah, kebun, serta sawah dan ternak. Disamping itu harta lain yang memiliki nilai materiil atau religio magis seperti perhiasan, keris, tombak dan lain-lain.
Penyebab tidak terbagi-baginya harta peninggalan itu dikarenakan ada beberapa hal, yaitu:
- Tidak dapat dibagi-bagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan ujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat.
- Tidak dapat dibagi-bagikannya pemilikan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi sebagai tali pengikat kesatuan keluarga.
- Tidak dapat berbagi-baginya pemilikan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya.
Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat
Perbuatan penghibahan harta ialah penyerahan tanah kepadaseorang anak yang berhak atas warisan. Orangtua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang patut dari peninggalan. (Menolak warisan terlarang menurut hukum adat).
Dalam hibah wasiat, pembagian harta benda dapat dilakukan sewaktu orang tua (orang yang menghibahkan) masih hidup, dengan cara memberiakan pesan.
Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan
Dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap dirumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan.
Pembagian Harta Peninggalan
Jika salah seorang waris atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan yang lain tidak menyetujuinya, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim dusun (dorpsechter) atau hakim jabatan (beroepsrechter) untuk memperoleh penyelesaiannya.
Para Ahli Waris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah semua orang yang akan menerima penerusan dan pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan.
Pada umumnya, para ahli waris adalah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup. Meskipun demikian, terhadap anak yang tidak barhak mewarisi seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris baku, waris kemenakan dan para waris pengganti (cucu ayah ibu), kakek, nenek, waris anggota kerabat dan waris lainnya.
1. Anak kandung
Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agamanya. diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 01 Tahun 1974 Pasal 42.
Anak tidak sah, yang sering disebut juga anak haram, anak jadah anak kowar dan sebagainya. adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan agama, meliputi:
a. Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan.
b. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.
c. Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan.
d. Anak dari kandungan ibu karena berbuat Zina.
2. Waris anak laki-laki
Dalam sistem kekerabatan patrilineal, yang berhak mewarisi harta warisan adalah anak laki-laki.
3. Waris anak perempuan
Kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan matrilineal, yang berhak mewarisi harta warisan adalah anak perempuan. Apabila ahli waris tidak memiliki keturunan perempuan dan hanya memiliki anak laki-liki saja, maka salah seorang anak laki-laki diambilkan dari wanita sebagai istrinya dalam bentuk perkawinan Semendo Ngangkit.
4. Waris anak laki-laki dan perempuan
Anak laki-laki dan perempuan adalah sama haknya atas harta warisan, tidak berarti bahwa jenis atau jumlah warisan dibagi merata diantara semua waris. Hal ini berlaku pada sistem kekerabatan parental yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Minahasa dan lain sebagainya.
5. Waris anak sulung
Pada umumnya keluarga di Indonesia menghormati kedudukan anak tertua. ia patut dihargai sebagai pengganti orang tua setelah orang tua tidak ada lagi.
6. Waris anak pangkalan dan anak bungsu
Adalah anak yang selama hidupnya aktif mengurus kehidupan orang tuanya dan harta warisan sampai pewaris wafat.
7. Anak tiri dan anak angkat
Anak tiri adalah anak yang lahir bukan berasal dari perkawinan siami istri yang bersangkutan, tetapi merupakan anak bawaan didalam perkawinan. Pada dasarnya anak tiri bukan waris dari ayah tiri atau ibu tirinya, tatapi ia pewaris dari ayah atau ibu kandungnya sendiri.
8. Para waris lainnya
Dalam masyarakat patrilineal, jalur waris adalah anak laki-laki dan keturunan laki-laki kebawah. Jika tidak ada anak laki-laki, maka anak perempuan ada yang dijadikan laki-laki atau mengambil lelaki untuk kemudian mendapatkan keturunan laki-laki.
Dalam masyarakat matrilineal, jalur waris adalah anak wanita dan keturunan wanitanya. Jika tidak memiliki anak perempuan, anak laki-laki dapat dijadikan wanita atau mengangkat anak perempuan dari saudara terdekat.
Menurut adat Jawa para waris itu dapat digolongkan menjadi:
a. Keturunan pewaris
b. Orang tua pewaris
c. Saudara-saudara pewaris atu keturunannya
d. Orang tua dari pada orang tua pewaris atau keturunannya.
Referensi
Munawir, Hukum Adat, Ponorogo: PPP Press, 2004.
Iman Sudayat, Asas-asas Hukum Adat (Bekal Pengantar), Yogyakarta: Libe, 1982.
Teer Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan), Jakarta: Paramita, 1983.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1979.
0 komentar:
Posting Komentar