Tradisi Tahlilan Masyarakat Jawa

Tradisi Tahlilan Masyarakat Jawa - Setelah lama tidak mengurusi blog karena ada kesibukan lain yang sangat penting, kali ini saya akan memposting artikel tentang Tradisi Tahlilan Masyarakat Jawa. Kenduri merupakan sebuah adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat jawa sejak jaman dahulu. Kenduri, tahlilan, yasinan atau bisa juga dinamakan slamatan dilakukan oleh masyarakat jawa untuk mendo’akan arwah leluhur, saudara, ayah, ibu maupun keluarga yang sudah meninggal dunia. Trasidi kenduri biasanya dilakukan untuk mengenang 3 hari, 7 hari (jw. Pitong ndinane), 40 hari, 100 hari, 1000 hari wafatnya keluarga yang sudah meninggal.

Tradisi kenduri ini dilakukan dengan cara mngundang tetangga dan warga masyarakat dengan tujuan untuk mendo’akan arwah keluarga yang sudah meninggal, selain itu kenduri dilakukan masyarakat jawa untuk bershadaqah kepada tetangga dan masyarakat. Hal ini dikarenakan orang yang punya hajat atau mengadakan kenduri akan memberikan hidangan berupa makanan maupun berkat: jawa kepada warga masyarakat yang hadir pada acara tersebut.  Setelah tetangga dan masyarakat berkumpul, imam tahlil membacakan bacaan-bacaan tahlil yang diikuti oleh warga masyarakat. Bacaan-bacaan tahlil tersebut adalah sebagai berikut:

اِلَى حَضْرَةِ النَّبِىِّ الْمُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ شَيْئٌ لِلَّهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ :......
ثُمَّ اِلَى حَضْرَةِ اِخْواَنِهِ مِنَ اْلأَ نْبِياَءِ وَالْمُرْسَلِـيْنَ وَاْلأَوْلِياَءِ وَالشُّـهَداَءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَالصَّحاَبـَةِ وَالتَّابعِيْنَ وَالْعُلَماَءِوالْمُصَنِّفِيْنَ وَجَـمِيْعِ الْمَلاَ ئِكَةِ الْمُقَرَّ بيْنَ خُصُوْصاً سَيِّدِناَ عَبْدُ الْقاَدِرِ الْجِيْلاَنِي شَيْئٌ لِلَّهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ :......
اِلَى حَضْرَةِ مَنْ نَوَى سَلَفَ الصَّالِحُوْنَ وَمَنْ نَوَى مُؤَسِّسُ جَمْعِيَّةِ نـهْضَةِ الْعُلَمَاءِ وَمَنْ نـَوَى الْحَاضِرُ وْنَ شَـيْئٌ لِلَّهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ :.........
ثُمَّ اِلَى جَمِــيْعِ اَهْلِ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِماَتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِناَتِ مِنْ مَشَارِقِ اْلأَرْضِ وَمَغَارِبـهاَ بَرِّهاَ وَبَحْرِهاَ خُصُوْصاً آَباَءَ ناَ وَاُمّهاَتِنَا وَاَجْدَادَ ناَ وَجَدَّاتِـناَ وَمَشاَيِخناَ وَمَشَايخَ مَشَايـخِناَ وَلِمَنْ اِجْتَمَعْناَ هَهُناَ بسبَبهِ شَيْئٌ لِلَّهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ :...............وَ خُصُوْصاً اِلَى رُوْحِ ....... صَاحِبَ هَذِهِ الْمَقْبَرَةَ شَيْئٌ لِلَّهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةْ :

Dan seterusnya. Untuk lebih lengkapnya anda bisa downlod bacaan tahlil disini.

Akan tetapi tradisi tahlilan yang dilakukan oleh masyarakat jawa sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu tersebut ada sebagian masyarakat yang tidak suka maupun tidak sependapat dengan tradisi kenduri atau tahlilan tersebut. Menurut mereka tradisi tahlilan tidak sesuai dengan syari’at islam, ada juga yang mengatakan bahwa tahlilan merupakan Bid’ah, yaitu kegiatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kalau menurut saya tradisi kenduri, tahlilan dan yasinan tersebut boleh-boleh saja. Dalam tahlil tersebut kan tidak ada kata-kata maupun bacaan yang sifatnya menyembah atau memuja-muja terhadap arwah leluhur. Akan tetapi kalau masalah do’a yang diucapkan dalam tahlil tersebut sampai kepada arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal dunia atau pun tidak kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu, yang tahu hanya Allah SWT yang Maha segala-galanya. Kita diciptakan sebagai manusia hanya bisa berusaha, berikhtiyar dan berdo’a. Apabila pembaca ingin membuktikan do’a yang diucapkan dalam tahlil tersebut sampai atau tidak? Maka matilah terlebih dahulu nanti tah tahlilane, nanti kalau nyampek beneran sms aku ya.... hehe.......

Mungkin pendapat pembaca berbeda dari pendapat saya... apabila ada pendapat lain bisa koment dibawah...

Salam Blogging....

Menanggapi Orang yang Tidak Suka pada Kita

Menanggapi Orang yang Tidak Suka pada Kita - Bagaimana sikap saya apabila ada orang yang syirik ( tidak suka ) kepada saya ? mohon penjelasan dan terima kasih.
 
Jawab ;
Sikap saudara yaitu maafkanlah kepada orang yang berbuat dlalim kepada anda, dan jalinlah orang yang memutus hubungan dengan anda.

Status Hukum Harta yang Diperoleh antara Suami Istri dalam Perkawinan

Pengertian Waris dan Sifatnya
Istilah waris diambil dari bahasa arab yang telah lazim dipergunakan dalam bahasa indonesia. Adapun pengertian waris menurut hukum adat adalah segala peraturan yang mengatur proses meneruskan atau pengoperan barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda, (immaterial exgoederen) dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Sifat Hukum Waris
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan pada warisnya. Harta waris adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang hasil penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sabagaimana didalam hukum waris islam atau hukum waris barat.

Harta waris adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak dapat dibagi adalah harta milik bersama para waris, dan tidak boleh dimiliki secara perorangan, tapi dapat dipakai dan dinikmati bersama.

Hukum waris adat tidak mengenal asas legitieme porttie atau bagian mutlak sebgaimana hukum waris Barat. Dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPer atau dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’.

Harta Peninggalan yang Tak Dapat Dibagi-bagi Larangan membagi harta peninggalan adalah suatu pertanda dalam hukum adat. Ia dapat bertahan akibat dari pengaruh cara berfikir yang komunalistis, yang menghendaki bahwa harta benda yang ditimbulkan itu merupakan harta turun-temurun, tidak dapat dimiliki oleh seseorang karena memang merupakan milik bersama/kolektif.

Harta yang dapat dibagikan kepada anak, menurut hukum adat adalah berupa rumah, tanah, kebun, serta sawah dan ternak. Disamping itu harta lain yang memiliki nilai materiil atau religio magis seperti perhiasan, keris, tombak dan lain-lain.

Penyebab tidak terbagi-baginya harta peninggalan itu dikarenakan ada beberapa hal, yaitu:

  • Tidak dapat dibagi-bagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah disebabkan ujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat di bawah pimpinan kepala adat.
  • Tidak dapat dibagi-bagikannya pemilikan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi sebagai tali pengikat kesatuan keluarga.
  • Tidak dapat berbagi-baginya pemilikan harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah adalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya.

Penghibahan (Pewarisan) dan Hibah Wasiat
Perbuatan penghibahan harta ialah penyerahan tanah kepadaseorang anak yang berhak atas warisan. Orangtua terikat pada aturan bahwa semua anak harus mendapat bagian yang patut dari peninggalan. (Menolak warisan terlarang menurut hukum adat).

Dalam hibah wasiat, pembagian harta benda dapat dilakukan sewaktu orang tua (orang yang menghibahkan) masih hidup, dengan cara memberiakan pesan.

Harta Keluarga Marga yang Merupakan Harta Peninggalan
Dalam sebuah keluarga, jika suaminya telah meninggal dunia dan anak-anak telah mandiri seorang mempunyai kedudukan istimewa, sebab istri sebagai janda menguasai rumah yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya dan berhak menetap dirumah itu sekaligus berhak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan.

Pembagian Harta Peninggalan
Jika salah seorang waris atau beberapa orang waris menghendaki membagi harta peninggalan, sedangkan yang lain tidak menyetujuinya, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim dusun (dorpsechter) atau hakim jabatan (beroepsrechter) untuk memperoleh penyelesaiannya.

Para Ahli Waris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah semua orang yang akan menerima penerusan dan pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan.

Pada umumnya, para ahli waris adalah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup. Meskipun demikian, terhadap anak yang tidak barhak mewarisi seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris baku, waris kemenakan dan para waris pengganti (cucu ayah ibu), kakek, nenek, waris anggota kerabat dan waris lainnya.

1.  Anak kandung 
Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agamanya. diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 01 Tahun 1974 Pasal 42.

Anak tidak sah, yang sering disebut juga anak haram, anak jadah anak kowar dan sebagainya. adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua yang tidak menurut ketentuan agama, meliputi:
a. Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan.
b. Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya.
c. Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan.
d. Anak dari kandungan ibu karena berbuat Zina.

2.  Waris anak laki-laki
Dalam sistem kekerabatan patrilineal, yang berhak mewarisi harta warisan adalah anak laki-laki.

3.  Waris anak perempuan
Kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan matrilineal, yang berhak mewarisi harta warisan adalah anak perempuan. Apabila ahli waris tidak memiliki keturunan perempuan dan hanya memiliki anak laki-liki saja, maka salah seorang anak laki-laki diambilkan dari wanita sebagai istrinya dalam bentuk perkawinan Semendo Ngangkit.

4.  Waris anak laki-laki dan perempuan
Anak laki-laki dan perempuan adalah sama haknya atas harta warisan, tidak berarti bahwa jenis atau jumlah warisan dibagi merata diantara semua waris. Hal ini berlaku pada sistem kekerabatan parental yang terdapat di Jawa, Kalimantan, Minahasa dan lain sebagainya.

5.  Waris anak sulung
Pada umumnya keluarga di Indonesia menghormati kedudukan anak tertua. ia patut dihargai sebagai pengganti orang tua setelah orang tua tidak ada lagi.

6.  Waris anak pangkalan dan anak bungsu
Adalah anak yang selama hidupnya aktif mengurus kehidupan orang tuanya dan harta warisan sampai pewaris wafat.

7.  Anak tiri dan anak angkat
Anak tiri adalah anak yang lahir bukan berasal dari perkawinan siami istri yang bersangkutan, tetapi merupakan anak bawaan didalam perkawinan. Pada dasarnya anak tiri bukan waris dari ayah tiri atau ibu tirinya, tatapi ia pewaris dari ayah atau ibu kandungnya sendiri.

8.  Para waris lainnya
Dalam masyarakat patrilineal, jalur waris adalah anak laki-laki dan keturunan laki-laki kebawah. Jika tidak ada anak laki-laki, maka anak perempuan ada yang dijadikan laki-laki atau mengambil lelaki untuk kemudian mendapatkan keturunan laki-laki.

Dalam masyarakat matrilineal, jalur waris adalah anak wanita dan keturunan wanitanya. Jika tidak memiliki anak perempuan, anak laki-laki dapat dijadikan wanita atau mengangkat anak perempuan dari saudara terdekat.

Menurut adat Jawa para waris itu dapat digolongkan menjadi:
a. Keturunan pewaris
b. Orang tua pewaris
c. Saudara-saudara pewaris atu keturunannya
d. Orang tua dari pada orang tua pewaris atau keturunannya.

Referensi
Munawir, Hukum Adat, Ponorogo: PPP Press, 2004.
Iman Sudayat, Asas-asas Hukum Adat (Bekal Pengantar), Yogyakarta: Libe, 1982.
Teer Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Terjemahan), Jakarta: Paramita, 1983.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1979.

Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan

Keturunan
Di negara Indonesia dikenal 3 (tiga) macam sisitem keturunan, yaitu:
1. Masyarakat Keibuan
Masyarakat keibuan (matrilineal) adalah suatu sistem kemasyarakatan dimana seoraang menarik garis keturunan melalui ibu, terus keatas ke ibu dari ibu dan seterusnya hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa ada ibu asal. Dalam segenap sistem ini, ibulah yang berkuasa atas harta benda dan atas pendidikan dan keserasian dalam masalah keluarga.

2. Masyarakat Kebapakan
Masyarakat dengan garis keturunan bapak (patrilineal) adalah sistem kekeluargaan dengan para anggota masyarakat hukum yang menarik garis keturunan secara konsekuen melalui garis laki-laki atau bapak. Masyarakat kebapakan adalah suatu masyarakat yang terbagi dalam klan-klan kebapakan, yang anggotanya menaarik garis keturunan secara konsekuen dan berdasar pandangan yang bersifat religio magis melalui garis ayah atau laki-laki.

Sistem perkawinan yang cocok untuk mempertahankan garis bapak adalah kawin jujur atau sering disebut dengan eksogami jujur. Ini merupakan suatu keharusan laki-laki dan perempuan yang bertalian klan itu, dengan pemberian barang yang bersifat magis religius, perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan kedalam anggota klan suaminya dan selanjutnya berhak, bertugas dan berkewajiban dilingkungan suami.

3. Masyarakat Bilateral atau Parental
Masyarakat keibu bapakan yaitu suatu sistem kemasyarakatan yang menarik garis keturunan melalui ibu dan bapak serta keluarga dari ibu dan keluarga dari bapak, sama nilai dan sama derajatnya. Dalam hukum adat dikenal dua sistem masyarakat parental atau bilateral, yaitu:

a. Masyarakat bilateral di Jawa
Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga / gezin, yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa. Sistem perkawinannya disebut dengan “kawin bebas” artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu sesuai dengan aturan kesusilaan setempat dan agama. Apa yang disebut kawin bebas ini adalah suatu kebebasan yang relatif, karena perkawinan tidak bisa dilangsungkan karena hubungan kekerabatan atau karena hubungan darah.

b. Masyarakat bilateral di Kalimantan
Masyarakat keibu bapakan di Kalimantan (Borneo) ialah masyarakat Dayak yang banyak macam sukunya dan diperkirakan hidup disana sejak kurang lebih 2.500 atau 6.000 tahun yang lalu. Sebagian dari mereka hidup primitif dan nomadis. Kebanyakan mereka saat ini menetap di saluran jalan-jalan lalulintas sungai dan hidup berkelompok dalam rumah-rumah yang terdiri dari sejumlah keluarga 12 (dua belas) sampai 20 (duapuluh) keluarga.

Hubungan Anak dengan Orang Tua dan Kerabat
Istilah orang tua secara sempit dapat diartikan sebagai orang tua suami istri, yaitu ibu dan ayah dari anak-anak. Sedangkan istilah orang tua dalam arti yang luas yaitu mencakup saudara-saudara sekandung ayah menurut garis laki-laki atau saudara-saudara sekandung ibu menurut garis wanita, yang ikut bertanggung jawab terhadap anak kemenakan.

Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya adalah seimbang menurut kedudukan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam keluarga / rumah tangga. Orang tua sebagai suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30 Undang-undang No. 1 tahun 1974).

Dalam hukum adat tidak dikenal apa yang dimaksud dengan lembaga pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya sebagaimana ketentua pasal 49 undang-undang no. 1 tahun 1974, karena hukum adat yang berlaku pada masing-masing kekerabatan sudah ada ketentuan yang bersifat tradisional.

Memelihara dan Mengangkat Anak dari Keluarga atau dari Orang Lain
1. Pemeliharaan Anak
Apabila di dalam keluarga salah satu dari kedua oarng tua meninggal, maka yang lain berkewajiban meneruskan mendidik anak-anak sampai dewasa. Tetapi bilamana kedua orang tua meninggal dunia, maka kewajiban sanak saudaranya (kerabat) yang terdekat berkesempatan paling baik, memelihara anak-anak yating piatu itu.

Bilamana dalam hal ini timbul kesukaran-kesukaran atau tidak ada yang cakap, maka di Jawa dan Madura diangkat seorang wali oleh Pengadilan sebagaimana tercantum dalam bab II Ordonantie 31 Januari 1931 Stbl No. 53.

2. Pengambilan Anak atau Pengangkatan Anak
Memungut seorang anak, dari luar kerabat yang menyebabkan anak tersebut memiliki status sosial, seperti sanak saudara biologis, adalah biasa dilakukan di Nusantara ini. Perbuatan hukum ini dalam bahasa Belanda disebut Adoptie (mengambil anak / mengangkat anak).

Apa yang disebut “Adoptie” dalam hukum adat sebetulnya adalah perjanjian pelihara (Ver zorgings kontrackt). Dalam perjanjian ini pihak yang satu (pemelihara) atau zorggever, menanggung nafkah pihak yang lain (terpelihara) atau zorgtrekker  lebih-lebih selama masa tuanya. Zorggever juga menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sebagai imbalan / balasannya, si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara, terkadang sebagian sama dengan seorang anak. Kiranya bentuk perjanjian inibukannya perbuatan di lapangan hukum ke sanak saudaraan.

Akibat Hukum dan Tujuan Pengangkatan Anak
Akibat hukum dari pengangkatan anak adalah bahwa kedudukan anak angkat menjadi sama dengan kedudukan anak kandung. Ia akan menjadi penerus dari pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya. Anak angkat tidak lagi mewarisi dari orang tua kandungnya, kecuali apabila orang tua kandungnya tidak mempunyai anak laki-laki lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari dua orang tua ayah bersaudara. Dikatakan bersaudara karena kebanyakan pengangkatan anak itu diambil dari anak saudaranya atau anak kemenakannya sendiri.

Sejenis dengan itu dikenal juga istilah anak akuan, anak pungut atau anak pupon, yaitu anak orang lain yang diakui oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan atau dikarenakan adanya keinginan untuk mendapat tenaga kerja yang tanpa harus membayar upah. Ataupun juga ada keluarga yang belum memiliki keturunan kemudian mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai anak “panutan” yang dimaksudkan sebagai anak ppancingan, agar keluarga yang memelihara bisa mendapat keturunan.

Hubungan hukum antara anak dengan dengan orang tua yang menitipkan anak tidak berubah. Dan sistem kewarisannya tetap menjadi waris dari orang tua kandungnya. Hanya saja orang yang dititipi minta pengganti biaya pemeliharaan dari titipannya tadi, kecuali yang dititipi itu yatim piatu dan sebaliknya.

Referensi
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta; Prdanya Paramita, 1981.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983.
Teer Heer, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat terj, Jakarta: Pradanya Paramita, 1983.
Munawir, Hukum Adat, Ponorogo: PPS Press, 2004.

Hukum Perkawinan dan Harta Perkawinan dalam Hukum Adat

1. Arti dan Tujuan Perkawinan dalam Hukum Adat
Menurut Ter Haar perkawinan dalam hukum adat merupakan kepentingan urusan keerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi abtara satu dengan yang lain dalam hubungan yang beranekaragam. Sebaagai kepentingan sanak-saudara yang berupa kesatuan-kesatuan atau masyarakat hukum (bagian dari suku, kerabat) perkawinan adalah suatu usaha untuk melestarikan golongan dengan tertib, yaitu melahirkan angkatan baru yang meneruskan golongan itu.

Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem endogami yaitu dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga. Namun perkawinan keluar marga ini sudah luntur, disebabkan masuknya pengaruh agama islam. Pada sistem perkawinan Endogami, seorang pria diharuskan mencari calon istri dalam lingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari calon istri keluar dari lingkungan kerabat. Pada masa sekarang, tidak nampak lagi masyarakat mempertahankan sistem perkawinan Exogami ataupun perkawinan Endogami. Namun disebagian daerah masih ada yang mempertahan sistem pernikahan tersebut.

2. Pengaruh Agama Islam dalam Perkawinan Asar
Sistem perkawinan Hetherogami merupakan pengaruh dari hukum perkawinan islam, dimana seorang pria tidak lagi dilarang untuk mencari calon istri di luar atau di dalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.

Dalam masyarakat islam, perkawinan dengan beberapa istri dapat dilakukan dengan sah berdasarkan ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 3 (tiga) yang berbunyi,

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 makajiwa ketentuan dari al-Qur’an itu disalurkan ke dalam pasal 3 (tiga) yang menyatakan:
  • Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
  • Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki aleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  • Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat, antara lain ialah:
  • Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
  • Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari pada anggota kerabat.
  • Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
  • Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui masyarakat. Dst.
3. Perceraian dan Akibat-akibatnya
Perceraian menurut hukum adat maupun hukum agama merupakan perbuatan tercela. Perceraian menurut agama islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “perkara halal yang paling dibenci disisi Allah SWT ialah Thalak”. Hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah.dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 39 yang berbunyi:

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan dalam melakukan perceraian harus didasari dengan beberapa alasan, antara lain:
  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  • Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lian tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya.
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Dst.

4. Akibat-akibat perceraian
Putusnya perkawinan sendiri dapat terjadi akibat dari beberapa hal, yaitu kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Menurut Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan yang putus karena perceraian, maka harta bersama yang diperoleh selama perkawinan diatur menurut hukumnya masing-masing, dan baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya yang semata-mata berdasar kepentingan anak.

5. Akibat perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a. Di lingkungan masyarakat patrilineal
Dimasyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus perkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada dalam kekerabatan suami. Yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak dimana saja meraka berada adalah ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, walaupun dalam kenyataannya ibu dan kerabat ibunya yang memelihara dan mendidiknya.

b. Dilingkungan masyarakat matrilineal
Dalam masyarakat kekerapatan matrilineal apabila terjadi perceraian, maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Seorang anak bisa ikut bersama ayahnya, jika perkawinan ayah dan ibunya semula adalah berbentuk “semenda”. Tetapi pada dasarnya si anak tetap berkedudukan di pihak ibu dan kerabat ibunya bukan di pihak ayahnya.

Jikalau perkawinan yang putus itu semenda nunggu, dimana suami istri semula berkedudukan ditempat kerabat istri hanya untuk waktu sementara menunggu guna membantu kehidupan orang tua istri, maka kedudukan si anak di pihak suami.

c. Di lingkungan masyarakat bilateral
Jika perceraian tersebut timbul akibat perceraian dalam masyarakat bilateral biasanya kedudukan si anak tergantung pada keadaan. Biasanya anak yang sudah besar mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti sang ibu.

6.      Akibat bagi harta perkawinan
a. Dilingkungan masyarakat patrilineal
Bila terjadi perceraian, istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali yang merupakan hak milik pribadinya.

Keadaan demikian akan lain sifaatnya jika terjadi perceraian dari bentuk perkawinan “ambil anak” oleh suatu keluarga yang tidak punya anak laki-laki. Suami setelah perkawinan tinggal ditempat sang istri, maka jika terjadi perceraian suami akan dikeluarkan begitu saja dari pihak kerabat istri tanpa suatu hak atas harta perkawinan.

b. Dilingkungan masyarakat matrilineal
Jika putusnya perkawinan karena perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat istri. Namun jika kedua suami isri dalam usaha mereka bermata pencaharian berimbang maka harta tersebut dibagi bersama.

c. Dilingkungan masyarakat bilateral/parental
Jika terjadi perceraian, maka akibat bagi harta perkawinan adalah sebagai berikut:
  • Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya kedalam perkawinan.
  • Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang menghasilkannya.
  • Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
7. Fungsi harta perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.

Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:
  • Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
  • Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
  • Harta yang diperoleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
  • Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sabagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan.
8. Pemisahan Harta Perkawinan
a. Harta Bawaan
Harta bawaan ini dapat dibedakan menjadi harta bawaan suami dan harta bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian.

b. Harta Penghasilan
Harta penghasilan pribadi terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat. Pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa musyawarah dengan anggota keluarga/kerabat yang lain.

c. Harta Pencaharian
Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dari hasil usaha suami dan istri setelah melangsungkan pernikahan. Tidak merupakan persoalan apakah dalam mencari harta kekayaan itu suami aktif bekerja, sedangkan istri mengurus anak dirumah, kesemua hasil pencaharian mereka yang berbentuk “harta bersama suami istri”.

Dilingkungan masyarakat kekerabatannya yang kuat pengaruhnya, hutang suami atau istri merupakan hutang bersama. Sedangkan dilingkungan masyarakat adat yang kita bersendikan kekerabatan hal tersebut perlu pemisihan.

d. Hadiah Perkawinan
Sebagaimana yang telah kita ketahui, harta perkawinan merupakan harta pemberian pada waktu upacara perkawinan. Tetapi jika dilihat dari tempat, waktu dan tujuan pemberian hadiah itu, maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita (harta bawaan istri). Dan harta yang diterima kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan. Harta perkawinan yang diterima mempelai laki-laki sebelum pernikahan disebut dengan harta bawaan suami.

Tetapi semua hadiah yang diterima ketika upacara pernikahan berlangsung adalah harta bersama suami istri yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat.

Referensi
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni, 1983.
Surojo Wigjodipura, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: tp, 1983.
Teer Heer, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradanya Paramita, 1983.
Munawir, Hukum Adat, Ponorogo: PPS Press, 2004.