Perbandingan Hukum Poligami Negara Islam Indonesia Dengan Tunisia

Seperti yang dikatakan oleh M Zaki Saleh dalam karya tulisnya, Istilah poligami berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia) atau gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak) dan gamos (kawin). Jadi secara harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria (suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal dengan istilah poligami. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah poliandri. Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:

“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female. Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”

Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy, yang berakar dari kata monos (satu, tunggal, sendirian) dan gamos (perkawinan). Secara simpel monogami dapat diartikan dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara terminologi, monogami memiliki dua pengertian:
  • Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang (pasangan) pada satu waktu.
  • Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi  seumur hidup. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu. Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.

Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan monogami sebagai acuan. “Ketidaktepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan monogami  sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan, beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.  

C       Pembahasan
      1.    Indonesia
Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama. Meskipun hak tersebut tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara sewenang-wenang.

Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-. Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.

Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.

Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan dengan kewajiban suami  yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh. Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat Alquran dan Sunnah Rasul.

Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah  sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.

       2.    Tunisia
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,  bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan  Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden  pertamanya.

Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallat  itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.

Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:
  1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
  2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
  3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
  4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;
  5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;

Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957. dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.

Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18  menyatakan:
  1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
  2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957  yang berhubungan dengan aturan sipil  dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.
  3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang  yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan  hukuman yang sama.

Dalam Pasal 18 UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan hukum pada ayat lain  dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3).  Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.

Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.

Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.   
      
Selain itu, para reformis di Tunisia  menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Al-Quran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan  kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil.  Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.”   

Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak  negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia  menghapus hak poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan  pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3.  Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.           

Daftar Pustaka
Saleh, M Zaki, Tren Kriminalisasi Dalam Hukum Keluarga Di Negara-negara Muslim.
Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress, Surabaya.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976.
Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.
Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II, Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.
Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22, Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.
Larry A. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s), hlm. 1798.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

0 komentar:

Posting Komentar